Tangerang Selatan Merespon Ritel Modern

Pertumbuhan ekonomi kelas menengah di Indonesia mangalami kenaikan atau peningkatan yang cukup pesat. Pada tahun 2010 golongan kelas menengah warga Indonesia sebanyak 45 juta, mengalami kenaikan pada tahun 2012 hingga mencapai  74 juta pada tahun 2013. Peningkatan ini diprediksi akan terus terjadi dari tahun ke tahun hingga mencapai 145 juta pada tahun 2025. Tidak heran jika McKinsey Global Institute meramalkan Indonesia akan menjadi negara yang memiliki kekuatan ekonomi tersebesar bersama tujuh negara lainnya.

Untuk mengetahui golongan ekonomi menengah ini dapat dilihat dari tingkat pendapatan atau pengeluaran mereka. Asian Development Bank membagi kelas menengah dalam 3 kelompok berdasarkan biaya pengeluaran per kapita per hari. Kelompok pertama merupakan kelas menengah dengan pengeluaran sebesar US$ 2-4 per kapita per hari. Kelas menengah kedua merupakan kelas menengah dengan pengeluaran US$4-10 per kapita per hari. Lalu, kelas menengah ketiga merupakan kelas menengah dengan pengeluaran sebesar US$10-20 per kapita per hari.

Pertumbuhan kelas menengah ini disinyalir sebagai salah satu pemutar roda perekonomian Indonesia. Sejumlah lembaga konsultan dan keuangan internasional telah mengakui hal itu secara terbuka dalam laporan-laporannya. Bank Dunia menempatkan Indonesia, Brasil, China, India, Korsel, dan Rusia sebagai penopang pertumbuhan ekonomi dunia hingga 2025 mendatang. Bank Dunia menilai lebih dari 50 persen pertumbuhan ekonomi dunia akan disumbangkan oleh 6 negara kekuatan ekonomi baru ini.

Pertumbuhan ekonomi China dan Korsel ditopang oleh kekuatan ekskpornya. Berbeda dengan Indonesia dan Brazil yang sokong oleh tingginya tingkat konsumsi masyarakat. Tingginya tingkat konsumsi di Indonesia merupakan salah satu faktor menjamurnya minimarket atau ritel modern. Tidak heran jika toko modern yang menawarkan konsep swalayan kebutuhan sehari-hari semakin marak hingga ke pelosok pemukiman penduduk.

Upaya pemerintah dalam menghadapi membludaknya ritel modern adalah dengan menerbitkan sejumlah regulasi dengan tujuan ‘menertibkan’ toko modern agar terjadi iklim usaha yang kondusif dan tidak mengganggu masyarakat di lingkungan ritel modern itu berada. Diantaranya tertuang dalam Permendagri No. 53 Th. 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Juga dalam Permendagri No. 68 Th. 2012 tentang Waralaba untuk Jenis Usaha Toko Modern.

Tangsel dan Ritel Modern
Kota Tangerang Selatan (Tangsel) merupakan salah satu kota yang memiliki daya tarik para investor untuk menanamkan modalnya termasuk dalam pendirian dan/atau ekspansi ritel modern. Keberadaan minimarket yang memberikan pelayanan swalayan pada konsumen merupakan suatu hal yang lazim di sebuah kota, termasuk di Tangerang Selatan. Karena selain sebagai aktor pertumbuhan ekonomi daerah, ritel modern juga dibutuhkan oleh konsumen kelas tetentu yang membutuhkan kenyamana dan keamanan berbelanja sebagai gaya hidup (life style).

Karena ritel modern mengutamakan konsep kenyamanan, kemanan, kebersihan lokasi, kualitas produk yang baik, serta kelengkapan dan variasi produk untuk bersaing dalam industri ritel di Indonesia. Konsep tersebut memberikan pengaruh besar dalam pertumbuhan dan perkembangan industri ritel Indonesia.

Di samping memberikan kontribusi bagi ekonomi daerah sekaligus terciptanya peluang kerja bagi tenaga kerja lokal, toko modern yang dibangun di luar koridor aturan dapat mengancam ekonomi lokal atau pelaku usaha lokal seperti toko kelontong tradisional. Toko modern atau minimarket  akan menggangu usaha lain jika didirikan di tengah pelaku usaha sejenis yang dikelola secara tradisional.

Sebagai upaya perlindungan terhadap pelaku usaha lokal, sekaligus menciptakan iklim usaha yang kondusif, pemerintah kota (Pemkot) Tangsel memberikan rule bagi toko modern atau minimarket yang akan didirikan di kota Tangsel. Peraturan tersebut salah satunya tertuang dalam Peraturan Walikota (Perwal) No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.

Perwal tersebut dimaksudkan lebih kepada upaya perlindungan pelaku usaha terutama terhadap pelaku usaha lokal yang notebene masih dikelola secara tradisional. Selain itu  aturan tentang minimarket tersebut juga berusaha untuk meng-encourage keterlibatan masyarakat dalam ‘memanfaatkan’ hadirnya toko modern.

 Hal itu misalnya terdapat dalam aturan yang terkait dengan keterlibatan tenaga kerja. Dalam perwal itu minimarket yang didirikan di Kota Tangsel harus melibatkan tenaga kerja lokal minimal 50% dari seluruh tenaga kerja yang ada di satu minimarket. Keterlibatan tenaga kerja lokal dalam toko modern akan mampu mereduksi tingkat pengangguran, khususnya pengangguran lokal.

Keberpihakan Pemkot terhadap masyarakat atau pelaku usaha kecil juga terlihat dalam jarak pendirian toko modern terhadap pasar tradisioanal. Dalam Perwal terkait disebutkan bahwa pendirian minimarket harus berada pada radius minimal 500 meter dari pusat pasar tradisional. Hal ini dimaksudkan agar tidak mengganggu pelaku usaha yang berada di pasar tradisional.

Selain itu, produk lokal juga menjadi concern Pemkot  Tangsel terkait dengan pendirian minimarket. Pemkot mewajibkan kepada pengusaha ritel modern untuk menjual produknya lebih dari 70% harus berasal dari produk lokal. Hal ini akan mendorong pertumbuhan pelaku UMKM lokal yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah.

Dan masih banyak lagi upaya Pemkot Tangsel dalam ‘mengkondisikan’ minimarket modern yang tidak bisa diuraikan pada kolom ini yang terbatas. Peraturan terkait toko modern tersebut dimaksudkan agar keberadaannya dapat menguntungkan barbagai pihak. Baik masyarakat/pelaku usaha lokal, pemerintah daerah, konsumen, maupun pelaku usaha toko modern itu sendiri.


Penulis: Uki Masduki
Peneliti Pusat Studi Desentralisasi dan Otonomi Daerah (PSDOD) STIE Ahmad Dahlan Jakarta
*Artikel pernah diterbitkan di Tangsel Pos

0 Response to "Tangerang Selatan Merespon Ritel Modern"

Posting Komentar