Hulu Hilir Banjir di Tangerang Selatan

Uraian berikut merupakan buah pemikiran penulis hasil dari “konsinyering pengelolaan daya serap air” yang difasilitasi oleh Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Tangerang Selatan 12-13 November lalu. Tulisan ini tentu tidak menguraikan secara detail mengenai hasil agenda besar tersebut, namun ada poin-poin tertentu tentang substansi hasil perumusan yang dibumbui perspektif normatif.

Air merupakan senyawa yang keberadaanya dimonopoli oleh bumi sebagai pelengkap hidup manusia. Lebih dari 70 persen bumi disinggahi oleh perpaduan unsur antara hidrogen dan  oksigen (H2O) itu. ada atau tidak adanya air menjadi masalah, bahkan menjadi masalah krusial mulai dari kekeringan sampai dengan kebanjiran. Masalah besar bagi Kota Tangerang Selatan (Tangsel) yang berkaitan dengan air tentu masalah kelebihan air (Banjir).

Kota Tangsel merupakan daerah berdataran rendah yang kerap disumbangi banyak buangan air diwaktu tertentu. Jika limbah air ini tidak dimenej dengan baik berdampak pada timbulnya masalah yang menghambat aktivitas. Apalagi Tangsel memiliki Setidaknya 24 titik banjir. Hal inilah yang kemudian mejadi latar belakang mengapa acara konsinyering menjadi penting.

Forum konsinyering dibanjiri dari berbagai unsur; mulai dari unsur pemerintah kota, perguruan tinggi sampai dengan Civil society. Melihat dari latar belakang peserta tentu baik secara teori/retoris maupun praktis sudah cukup untuk menghalau efek negatif air.

Kesimpulan sederhananya dari konsinyering ini adalah sama-sama tahu hulu hilir banjir, sebab akibatnya, siapa pelaku dan siapa korban, serta siapa dan harus berbuat apa. Kini masyarakat sedang menunggu implementasi dari rumusan konsinyering. Sungguh sayang apabila acara yang berlangsung memakan uang rakyat itu berhasil nihil pada tataran aplikasi.

Buah Hasil Pengembang

Mayarakat Tangsel telah mengakui bahwa banjir yang menghampiri mereka salah satunya merupakan buah hasil atau dampak dari ulah pengembang perumahan. Berdasarkan historisnya Tangsel merupakan daerah pertanian yang dikonversi menjadi lahan hunian. Pada kondisi ini tentu Tangsel merupakan tempat berlabuhnya air demi kepentingan pertanian.

Lahan atau daerah yang seyogyanya ditanami tanaman pangan dialihtanamkan dengan tanaman beton yang tidak memiliki daya serap air. Sehingga konstruksi dan permukaan lahan menjadi berubah. Hal ini yang menjadi pemicu timbulnya genangan air (banjir).

Aktor yang secara ekspansif berkontribusi terhadap menjamurnya tanaman hunian adalah pengembang. Di Tangsel sendiri setidaknya terdapat 200 pengembang yang siap dan telah mengkonversi wajah Tangsel menjadi lahan beton.

Bagi Kota Tangsel, adanya para pengembang tentu merupakan sebuah anugerah. Keberadaannya menjadi penopang pembangunan fisik tangsel sekaligus sebagai pembuka kran investasi yang mendukung geliat ekonomi Tangsel. Pengembang inilah yang membuat Tangsel menjadi “Kota”.

Namun dibalik itu, hadirnya para pengembang secara nyata dapat melahirkan masalah sosial dan lingkungan. Mulai dari timbulnya gap atau kesenjangan sosial, penyekat harmonisasi masyarakat, sampai dengan pencipta banjir. Sehigga masyarakat pinggiran yang menanggung backwash effect-nya (dampak negatif pembangunan).

Padahal ditataran konsep para pengembang memiliki desain pembangunan yang ramah lingkungan termasuk di dalamnya bagaimana pembangunan yang bangun dapat menghalau banjir. Namun ternyata konsep itu hanya berlaku pada wilayah jarahannya saja. mereka membangun daerah pemukiman/perkantoran anti banjir yang justru menciptakan banjir bagi wilayah penduduk lokal disekitarnya.

Terkait dengan pembangunan yang dilakukan pengembang, tentu ada peran pemerintah kota (Pemkot) di dalamnya. Termasuk kemudahan pemberian izin dan longgarnya persyaratan pembangunan. Yang dilakukan adalah bagaimana bertindak sesuai dengan aturan dengan mengabaikan  backwash effect yang akan ditanggung pihak lain.

Masyarakat lokal seharusnya menerima spread affect (dampak positif pembangunan) dari kehadiran para pengembang. Baik dampak pembangunan fisik: jalan anti macet dan anti banjir. Maupun terdorong secara ekonomi: peningkatan ekonomi warga. Pembangunan biasanya dilakukan tidak memperhatikan dampak yang akan ditimbulkan nantinya.

Para stakeholder seharusnya membuat komitmen terhadap pembangunan yang akan dilakukan harus mengalirkan perbaikan bagi penduduk lokal, bukan sebaliknya. Pembangunan hanya menyisakan masyarakat loka makin terpinggirkan.

Lebih Represif
Sifat represif atau kuratif telah menjadi budaya ketika merespon musibah atau bencana dibandingkan dengan tindakan preventif. Yang disiapkan adalah bagaimana mengobati dari pada bagaimana mencegah. Ada korban dulu baru dibenahi. Budaya inilah yang menyebabkan sulitnya keluar dari banyak persoalan. Padahal tindakan preventif merupakan upaya mitigasi bencana.

Tindakan preventif akan mempermudah dalam melakukan manejemen bencana. Setiap fase pada manejemen bencana: mitigasi, preparadness, respon, dan recovery akan terkurangi bebannya jika di pada tindakan preventif dioptimalkan.

Masyarakat biasaya diyakinkan dan diajak bagaimana caranya menghadapi bencana, bukan caranya bertindak untuk tidak disapa bencana. Pihak terkait hanya mengedukasi hilirnya (penerima akibat) tanpa membenahi hulunya (penyebab). Padahal jika hulunya bisa dibenahi secara otomatis hilirnya tanpa perlu banyak disentuh.

Pada akhirnya setiap kejadian dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi menjadi tanggung jawab bersama. Namun harus ada ditribusi kewenangan dan tanggungg jawab yang fair agar dapat diketahui siapa dan harus berbuat apa. Wasalam.
Penulis: Uki Masduki
Peneliti Pusat Studi Desentralisasi dan Otonomi Daerah (PSDOD) STIE Ahmad Dahlan Jakarta
*Artikel pernah diterbitkan di Tangsel Pos

0 Response to "Hulu Hilir Banjir di Tangerang Selatan"

Posting Komentar