Ada gejala konflik yang berpotensi destruktif terdeteksi di Tangsel.
Kesimpulan itu muncul dari penelitian yang dilakukan oleh PSDOD
sepanjang 2013 lalu. Tahun ini, penelitian akan berjalan di tahun
kedua. Dan artikel yang ada di tangan pembaca ini adalah hasil penelitian
tahun pertama. Insya Allah, jika tidak ada aral melintang, di tahun
kedua saya akan lakukan studi banding ke Thailand. Hasil dari Thailand
itu kemudian akan dibawa pulang kembali ke Indonesia, terutama Tangsel.
Lalu pertanyaannya, apa yang diteliti? Satu dari tiga aspek yang
diteliti adalah menguji potensi konflik yang muncul dari interaksi
antara kawasan perumahan modern dengan kawasan permukiman tradisional. Aspek penelitian itu dibungkus oleh tema besar: “Model Kebijakan
Pembangunan Kawasan Perumahan di Kawasan Suburban di Indonesia dengan
Studi Kasus di Tangsel”. Mengapa kasusnya mengambil tempat di Tangsel?
Jawabannya pertama, tentu karena Tangsel adalah kawasan suburban.
Kawasan suburban adalah kawasan pinggir kota yang diisi oleh
permukiman, tempat di mana para pekerja di pusat kota menetap.
Kedua, karena persoalan ledakan jumlah penduduk, yakni 1,2 juta jiwa
(2010), 1,3 juta jiwa (2011), dan 1,4 juta jiwa (2012) (BPS Tangsel,
2013). Ledakan jumlah penduduk berarti akan meningkatkan permintaan (demand) terhadap perumahan.
Di saat itu lah kemudian pengembang (developers) membangun kawasan perumahan. Masalahnya, seringkali pembangunan kawasan perumahan mengabaikan dimensi sosial. Tidak jarang, pembangunannya dilakukan di tengah-tengah lingkungan
penduduk setempat. Sehingga, klaster-klaster eksklusif yang modern itu
menjadi semacam perumahan mewah di lingkungan tradisional.
Akibatnya, muncul kesenjangan. Perhitungan PSDOD (2013) dengan
menggunakan Indeks Entropy Theil, kesenjangan pendapatan antara warga di
dalam dengan di luar kawasan perumahan modern begitu lebar.
Yakni 0,34 di perumahan modern dan 0,15 di permukiman tradisional. Sehingga total ketimpangan pendapatan di Tangsel adalah 0,49.
Potensi Konflik
Satu dari banyak penyebab konflik adalah ketidakseimbangan kesenjangan pendapatan (Hendrajaya et al, 2010). Dampaknya adalah kecemburuan sosial. Dan hal ini lah yang memunculkan konflik di antara masyarakat.
Saya menduga, warga di kedua kawasan tidak kohesif. Dalam bahasa
sederhananya mereka “tidak menyatu” secara sosial. Atas dasar dugaan
itu, lalu saya lakukan uji statistik. Hasilnya, warga di kedua kawasan memang tidak kohesif dan tidak
menyatu secara sosial. Dan ketidakkohesifan ini adalah potensi konflik
yang bakal meletup setiap waktu. Saya berkesimpulan, setidaknya ada tiga penyebab mengapa warga di kedua kawasan tidak kohesif dan tidak menyatu secara sosial.
Pertama, secara sosial, ada perbedaan yang mencolok di
antara warga di kedua kawasan. Warga di perumahan tradisional merasa
tidak percaya diri untuk berinteraksi dengan warga di perumahan modern. Hasil jajak pendapat terhadap 157 responden di Kec. Setu, Pamulang,
Ciputat dan Ciputat Timur menunjukkan, perbedaan status sosial (22%),
pendidikan (17%), warga lama-baru (17%) dan perbedaan kepemilikan lahan
(11%) adalah faktor yang dominan penyebab rendahnya interaksi di antara
mereka. Kedua, tidak ada instrumen sosial yang dapat membentuk
kohesifitas di antara warga di kedua kawasan. Kalaupun ada, sifatnya
lebih musiman dan aksidental.
Misalnya membagi-bagi kupon pengambilan hewan Qurban pada saat Hari
Raya Idul Adha. Padahal, yang mendasar adalah bagaimana interaksi itu
bisa dilakukan secara berkelanjutan. Hal ini menjadi penting. Sebab
dengan cara itu lah harmonisasi sosial dapat terbentuk. Ketiga, secara spasial. Pola pembangunan kawasan perumahan dibangun terpisah dari kawasan permukiman tradisional.
Padahal Rukun Tetangga (RT) semestinya dapat dijadikan instrumen
integrasi warga. Namun, banyak kawasan perumahan justru dibangun
berdasarkan blok-blok yang terdapat di dalam kawasan perumahan modern
dan dipisahkan dari RT di kawasan permukiman tradisional.
Mulai Dari Perda
Untuk itu menurut saya, kita perlu mengubah kebijakan. Hal itu dapat
dimulai dari rancang ulang Perda Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Permukiman. Sebab pada faktanya, Perda itu belum mampu menjawab persoalan yang
dihadapi. Hal tersebut karena Perda hanya melihat kawasan perumahan
sebagai entitas spasial (keruangan).
Sudut pandang itu terlihat dari istilah-istilah yang digunakan.
Misalnya “kawasan perumahan tertata” dan “tidak tertata”. Padahal
sesungguhnya kawasan perumahan bukan hanya berdimensi spasial, tetapi
juga sosial dan bahkan budaya. Akhir kata, sebelum potensi konflik meletup, sudah seyogyanya para
pengambil kebijakan segera mengambil tindakan. Tentu bukan tindakan
“asal jadi”, “asal rumus”, “asal caplok (copy paste) dan “yang
penting selesai”. Karena yang kita perlukan saat ini adalah kebijakan
yang berbasis karakter Tangsel sebagai kawasab suburban.
Penulis: Pitri Yandri
Sumber: http://pyandri.wordpress.com/2014/05/02/rancang-ulang-kawasan-perumahan/
Penulis: Pitri Yandri
Sumber: http://pyandri.wordpress.com/2014/05/02/rancang-ulang-kawasan-perumahan/
0 Response to "Rancang Ulang Kawasan Perumahan di Tangserang Selatan"
Posting Komentar