'Komunitas Berpagar’ di Tangerang Selatan (Tangsel). Tak bisa dipungkiri, pemekaran memberi dampak yang luar biasa bagi
kemajuan perekonomian Tangsel. Dengan mata telanjang kita bisa saksikan
bagaimana geliat ekonomi itu bergerak. Data mengonfirmasi, laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Tangsel tertinggi
di Banten, bahkan lebih tinggi dari LPE nasional. Pada 2012, LPE itu
tembus ke angka 8,24%.
Melihat angka itu, Tangsel dinilai sebagai daerah “the new rising
region in Banten”. Makanya jangan heran kalau kemudian orang
berduyun-duyun datang dan tinggal di Tangsel. Baik karena proses migrasi
(dari desa ke kota) maupun suburbanisasi (dari pusat kota ke pinggiran
kota). Hal itu diindikasi dari jumlah penduduk yang bertambah kurang lebih
seratus ribu orang setiap tahun. Masing-masing 1,2 juta jiwa (2010), 1,3
juta jiwa (2011), dan 1,4 juta jiwa (2012).
Saya memperkirakan, tahun ini jumlah penduduk di Tangsel membludak
menjadi 1,6 juta jiwa dengan tingkat kepadatan per kilometer persegi
mencapai 10.870 jiwa. Bisa dibayangkan betapa sesaknya Tangsel saat ini.
Memang peningkatan jumlah penduduk merupakan potensi ekonomi.
Mengapa? Karena jumlah penduduk yang berlimpah akan memunculkan potensi
permintaan (potential demand) bagi barang-barang konsumsi dan investasi, terutama perumahan.
Perumahan Klaster
Indikasinya, jumlah pengembang (developer) kawasan perumahan
meningkat dari 176 pada 2008 menjadi 200-an pengembang pada 2010.
Jangan heran jika kemudian berdiri kawasan perumahan klaster yang luas
lahannya tidak sampai 2 hektar. Isi bagunan rumah di dalamnya hanya terdiri dari 10-20 rumah.
Tragisnya, klaster-klaster eksklusif yang modern itu menjadi semacam
perumahan mewah di lingkungan tradisional.
Fenomena inilah yang disebut Herald Leisch (2002) sebagai komunitas
berpagar. Ciri-cirinya adalah adanya pengamanan lingkungan dalam bentuk
fisik, seperti penggunaan portal, pagar keliling, satpam, dan kamera
CCTV. Akibatnya, muncul kesan eksklusif atau tertutup yang menempel pada
penghuni komunitas berpagar. Kesan tertutup tersebut bukan tanpa sebab.
Masyarakat penghuni seringkali merasa tidak perlu berinteraksi karena
mereka sudah terpenuhi kebutuhannya.
Kesenjangan Ekonomi
Hal inilah yang menjadi penyebab utama ketimpangan pendapatan di
antara masyarakat. Perhitungan Indeks Theil yang dilakukan PSDOD (2013)
menunjukkan, ketimpangan pendapatan justru bersumber dari kawasan
perumahan modern, bukan dari permukiman tradisional. Nilai ketimpangan pendapatan di perumahan modern mencapai 0,34 dan
ketimpangan pendapatan di permukiman tradisional hanya 0,15. Sehingga
nilai total ketimpangan pendapatan di antara masyarakat adalah 0,49.
Nilai itu bermakna bahwa semakin besar nilai indeksnya, semakin lebar
pula ketimpangannya. Saya menduga, nilai indeks ketimpangan yang
digunakan oleh BPS Tangsel masih bertengger di 0,70. Artinya, angka itu tidak berubah signifikan sejak 2008 dan 2009
ketika Indeks Williamson Tangsel pertama kali dipublikasikan. Yakni 0,79
(2008) dan 0,71 (2009).
Pantas saja kini BPS Tangsel tidak mempublikasikan indeks ketimpangan
dalam website resminya. Sebab data ini tentu bisa ‘menampar muka’ para
pengambil kebijakan di Tangsel. Betapa tidak. Karena di balik indikator-indikator perekonomian yang
aduhai itu tersimpan sebuah fakta kinerja pembangunan yang buruk.
Mengapa buruk?
Sebab
tidak ada upaya sistematis dan terencana untuk memperbaiki
keadaan itu menjadi lebih baik. Malah dalam banyak kasus, pengambil
kebijakan sibuk membentang ‘karpet merah’ bagi para pengembang. Dengan
alasan peningkatan pendapatan asli daerah, lahan-lahan di
Tangsel ditelanjangi kemudian dibangun tembok-tembok perumahan. Makanya
jangan heran jika ada ungkapan bahwa kerusakan lahan adalah akibat dari
tabiat birokrasi yang buruk dan korup.
Reformulasi Perda
Untuk itu, Perda Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman
yang tahun lalu disahkan harus diformulasi kembali. Karena pada faktanya
regulasi itu tidak menjawab permasalahan yang dihadapi oleh Tangsel
secara riil. Perda itu juga sangat sempit paradigmanya. Perumahan dan kawasan
permukiman hanya dipandang sebagai entitas spasial (ruang). Padahal
perumahan dan kawasan permukiman memiliki dimensi sosial di dalamnya.
Hal itu terlihat dari adanya interaksi sosial di antara kawasan.
Kasus nyata baru-baru ini misalnya. Warga di perumahan Villa Dago
Pamulang bertengkar dengan warga di permukiman tradisional karena
persoalan aksesibilitas. Secara spesifik, terdapat banyak pasal dalam regulasi itu yang
kontradiktif dengan dirinya sendiri dan dengan kondisi nyata di
lapangan. Contoh kasus, silakan para pengambil kebijakan lakukan cek
pada Pasal 5 Butir 3.
Akhir kata, para pengambil kebijakan tak perlu membanggakan Tangsel
sebagai daerah baru yang maju pesat jika masalah ini belum teratasi
secara memuaskan. Yang kita perlukan, sebagai kawasan suburban, adalah
pembangunan kawasan perumahan yang berimbang. Berimbang antara kawasan
perumahan modern dengan kawasan permukiman tradisional.
Penulis: Pitri Yandri
Sumber: http://pyandri.wordpress.com/2014/04/23/komunitas-berpagar-di-tangsel/
Penulis: Pitri Yandri
Sumber: http://pyandri.wordpress.com/2014/04/23/komunitas-berpagar-di-tangsel/
0 Response to "'Komunitas Berpagar’ di Tangerang Selatan (Tangsel)"
Posting Komentar